BAB
I
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Pada
hakikatnya kelahiran cara berfikir ilmiah itu merupakan suatu revolusi besar dalam dunia ilmu pengetahuan,
karena sebelum itu manusia lebih banyak berpikir menurut gagasan-gagasan magis
dan mitologi yang bersifat gaib dan tidak rasional. Dengan berilmu dan
berfilsafat manusia ingin mencari hakikat kebenaran daripada segala sesuatu.
Dari sinilah munculnya filsafat dan orang-orang sudah mulai berfikir lebih
nyata lagi dengan filsafat. Namun dalam hal ini ilmu agama pun menjadi tolak ukur dalam
pemikiran hidup, maka muncullah perbedaan antar filsafat dan agama.
Dalam hal ini istilah filsafat
dan agama mengandung pengertian yang dipahami secara berlawanan oleh banyak
orang. Filsafat
dalam cara kerjanya bertolak dari akal, sedangkan agama bertolak dari wahyu
sehingga konsekuensinya
adalah filsafat bukanlah suatu ilmu yang berdiri sendiri, yang otonom, tidak
berdasarkan kodrat akal budi manusia, melainkan sama sekali tergantung dari dan
ditentukan isinya oleh agama. Oleh sebab itu, banyak kaitan
dengan berfikir sementara agama banyak terkait dengan pengalaman. Filsafat
mebahas sesuatu dalam rangka melihat kebenaran yang diukur, apakah sesuatu itu
logis atau bukan. Agama tidak selalu mengukur kebenaran dari segi logisnya karena
agama kadang-kadang tidak terlalu memperhatikan aspek logisnya.
Perbedaan tersebut
menimbulkan konflik berkepanjangan antara orang yang cenderung berfikir
filosofis dengan orang yang berfikir agamis, padahal filsafat dan agama
mempunyai fungsi yang sama kuat untuk kemajuan, keduanya tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan manusia. Dan dibalik perbedaan dan pertentangan tersebut
filsafat dan agama memiliki hubungan yang erat. Oleh sebab itu dalam makalah
ini kita akan mengungkap hubungan yang terkait antara filsafat dengan agama.
Sebab anatar filsafat dan agama tidak akan lepas dari kehidupan sehari-hari
yang menjadi tolak ukur bagi kehidupan manusia.
1.2. TUJUAN PENULISAN
1.
Untuk mengetahui pengertian dan hakekat
filsafat.
2.
Untuk mengetahui pengertian dan hakekat
agama.
3.
Untuk mengetahui hubungan filsafat
dengan agama.
1.3. RUMUSAN MASALAH
Hubungan anatara filsafat dengan agama.
1.4. RUANG LINGKUP
Ruang lingkup dalam
penulisan makalah ini yaitu hubungan antara filsafat dan agama dalam kehidupan
manusia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. SEJARAH
Menurut catatan sejarah, filsafat Barat bermula di
Yunani. Bangsa Yunani mulai mempergunakan akal ketika mempertanyakan mitos yang
berkembang di masyarakat sekitar abad VI SM. Perkembangan pemikiran ini
menandai usaha manusia untuk mempergunakan akal dalam memahami segala sesuatu.
Pemikiran Yunani sebagai embrio filsafat Barat berkembang menjadi titik tolak
pemikiran Barat abad pertengahan, modern dan masa berikutnya. Disamping
menempatkan filsafat sebagai sumber pengetahuan, Barat juga menjadikan agama
sebagai pedoman hidup, meskipun memang harus diakui bahwa hubungan filsafat dan
agama mengalami pasang surut. Pada abad pertengahan misalnya dunia Barat
didominasi oleh dogmatisme gereja (agama), tetapi abad modern seakan terjadi
pembalasan terhadap agama. Peran agama di masa modern digantikan ilmu-ilmu
positif. Akibatnya, Barat mengalami kekeringan spiritualisme. Namun
selanjutnya, Barat kembali melirik kepada peranan agama agar kehidupan mereka
kembali memiliki makna.Makalah ini akan mendiskripsikan hubungan filsafat dan
agama di Barat sebagai sebuah survei sejarah lintas periode.
2.2. PENGERTIAN
AGAMA
Kata
“agama” berasal dari bahasa Sanskrit “a” yang berarti tidak dan “gam”
yang berarti pergi, tetap di tempat, diwarisi turun temurun dalam kehidupan
manusia. Ter-nyata agama memang mempunyai sifat seperti itu. Agama,
selain bagi orang-orang tertentu, selalu menjadi pola hidup manusia. Dick
Hartoko menyebut agama itu dengan religi, yaitu ilmu yang meneliti hubungan
antara manusia dengan “Yang Kudus” dan hubungan itu direalisasikan dalam
ibadat-ibadat. Kata religi berasal dari bahasa Latin rele-gere yang
berarti mengumpulkan, membaca. Agama me-mang merupakan kumpulan cara-cara
mengabdi kepada Tuhan dan semua cara itu terkumpul dalam kitab suci yang harus
dibaca. Di sisi lain kata religi berasal dari religare yang
berarti mengikat. Ajaran-ajaan agama memang mem-punyai sifat mengikat
bagi manusia. Seorang yang beragama tetap terikat dengan hukum-hukum dan
aturan-aturan yang ditetapkan oleh agama.
Sidi
Gazalba mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kata relegere asal kata relgi
mengandung makna berhati-hati hati-hati. Sikap berhati-hati ini disebabkan
dalam religi terdapat norma-norma dan aturan yang ketat. Dalam religi ini orang
Roma mempunyai anggapan bahwa manusia harus hati-hati terhadap Yang kudus dan
Yang suci tetapi juga sekalian tabu. Yang kudus dipercayai mempunyai
sifat baik dan sekaligus mempunyai sifat jahat.
2.3. AGAMA
PENGERTIAN DI BARAT
Sebelum dijelaskan tentang agama universal di
Barat, perlu diketahui agama bangsa Yunani secara garis besar. Bangsa Yunani
sebelum mengenal dewa-dewa, mereka memuja dan menyembah daya-daya alam, roh
nenek moyang dan pimpinan tertinggi dari anggota keturunan. Kemudian, mereka
melakukan pemujaan terhadap para dewa yang dipusatkan di gunung Olympia,
sebagaimana diceritakan Homerus dan Hesiodes dalam syair-syair mereka. Hal ini
terjadi berabad-abad lamanya hingga datangnya agama Yahudi dan Nashara.
Sementara itu, agama universal adalah agama yang kepercayaannya disajikan untuk
semua umat manusia. Agama ini menganggap dirinya punya kebenaran penuh tentang
realitas, pengetahuan, dan nilai, sehingga pemeluknya merasa berkewajiban
menyampaikan kepada semua umat manusia. Agama universal yang dimaksud di sini
adalah agama Yahudi, Kristen, dan Islam.
2.4. AGAMA
DAN FILSAFAT MODERN
Di abad pertengahan,
filsafat mencurahkan perhatian terhadap masalah metafisik. Saat itu sulit
membedakan mana yang filsafat dan mana yang gereja. Sedangkan periode sejarah
yang umumnya disebut modern memiliki sudut pandang mental yang berbeda dalam
banyak hal, terutama kewibawaan gereja semakin memudar, sementara otoritas ilmu
pengetahuan semakin kuat.Masa filsafat modern diawali dengan munculnya
renaissance sekitar abad XV dan XVI M, yang bermaksud melahirkan kembali
kebudayaan klasik Yunani-Romawi. Problem utama masa renaissance, sebagaimana
periode skolastik, adalah sintesa agama dan filsafat dengan arah yang berbeda.
Era renaissance ditandai dengan tercurahnya perhatian pada berbagai bidang
kemanusiaan, baik sebagai individu maupun sosial.Di antara filosof masa
renaissance adalah Francis Bacon (1561-1626). Ia berpendapat bahwa filsafat
harus dipisahkan dari teologi. Meskipun ia meyakini bahwa penalaran dapat
menunjukkan Tuhan, tetapi ia menganggap bahwa segala sesuatu yang bercirikan
lain dalam teologi hanya dapat diketahui dengan wahyu, sedangkan wahyu
sepenuhnya bergantung pada penalaran. Hal ini menunjukkan bahwa Bacon termasuk
orang yang membenarkan konsep kebenaran ganda (double truth), yaitu
kebenaran akal dan wahyu. Puncak masa renaissance muncul pada era Rene
Descartes (1596-1650) yang dianggap sebagai Bapak Filsafat Modern dan pelopor
aliran Rasionalisme.
Argumentasi yang
dimajukan bertujuan untuk melepaskan diri dari kungkungan gereja. Hal ini
tampak dalam semboyannya “cogito ergo sum” (saya berpikir maka saya
ada). Pernyataan ini sangat terkenal dalam perkembangan pemikiran modern,
karena mengangkat kembali derajat rasio dan pemikiran sebagai indikasi
eksistensi setiap individu. Dalam hal ini, filsafat kembali mendapatkan
kejayaannya dan mengalahkan peran agama, karena dengan rasio manusia dapat
memperoleh kebenaran.Kemudian muncul aliran Empirisme, dengan pelopor utamanya,
Thomas Hobbes (1588-1679) dan John Locke (1632-1704). Aliran Empirisme
berpendapat bahwa pengetahuan dan pengenalan berasal dari pengalaman, baik
pengalaman batiniah maupun lahiriah. Aliran ini juga menekankan pengenalan
inderawi sebagai bentuk pengenalan yang sempurna.Di tengah gegap gempitanya
pemikiran rasionalisme dan empirisme, muncul gagasan baru di Inggris, yang
kemudian berkembang ke Perancis dan akhirnya ke Jerman. Masa ini dikenal dengan
Aufklarung atau Enlightenment atau masa pencerahan sekitar abad
XVIII M.Pada abad ini dirumuskan adanya keterpisahan rasio dari agama, akal
terlepas dari kungkungan gereja, sehingga Voltaire (1694-1778) menyebutnya
sebagai the age of reason (zaman penalaran). Sebagai salah satu
konsekwensinya adalah supremasi rasio berkembang pesat yang pada gilirannya
mendorong berkembangnya filsafat dan sains.Meskipun demikian, di antara pemikir
zaman aufklarung ada yang memperhatikan masalah agama, yaitu David Hume
(1711-1776). Menurutnya, agama lahir dari hopes and fears
(harapan dan penderitaan manusia). Agama berkembang melalui proses dari yang
asli, yang bersifat politeis, kepada agama yang bersifat monoteis. Kemudian
Jean Jacques Rousseau (1712-1778) berjuang melawan dominasi abad pencerahan
yang materialistis dan atheis. Ia menentang rasionalisme yang membuat kehidupan
menjadi gersang. Ia dikenal dengan semboyannya retournous a la nature
(kembali ke keadaan asal), yakni kembali menjalin keakraban dengan alam.Tokoh
lainnya adalah Imanuel Kant (1724-1804).
Filsafatnya dikenal
dengan Idealisme Transendental atau Filsafat Kritisisme. Menurutnya,
pengetahuan manusia merupakan sintesa antara apa yang secara apriori sudah ada
dalam kesadaran dan pikiran dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman
(aposteriori). Ia berusaha meneliti kemampuan dan batas-batas rasio. Ia memposisikan
akal dan rasa pada tempatnya, menyelamatkan sains dan agama dari gangguan
skeptisisme.Tokoh idealisme lainnya adalah George Wilhelm Friedrich Hegel
(1770-1831). Filsafatnya dikenal dengan idealisme absolut yang bersifat
monistik, yaitu seluruh yang ada merupakan bentuk dari akal yang satu, yakni
akal yang absolut (absolut mind). Ia memandang agama Kristen yang
dipahaminya secara panteistik sebagai bentuk terindah dan tertinggi dari segala
agama.Sementara di Inggris, Jeremy Benthem (1748-1832) dengan pemikiran-pemikirannya
mengawali tumbuhnya aliran Utilitarianisme. Utility dalam bahasa Inggris
berarti kegunaan dan manfaat. Makna semacam inilah yang menjadi dasar aliran
Utilitarianisme. Tokoh lain aliran ini adalah John Stuart Mill (1806-1873) dan
Henry Sidgwick (1838-1900). Menurut aliran utilitarianis bahwa pilihan terbaik
dari berbagai kemungkinan tindakan perorangan maupun kolektif adalah yang
paling banyak memberikan kebahagiaan pada banyak orang. Kebahagiaan diartikan
sebagai terwujudnya rasa senang dan selamat atau hilangnya rasa sakit dan
was-was. Hal ini bukan saja menjadi ukuran moral dan kebenaran, tetapi juga
menjadi tujuan individu, masyarakat, dan negara.Aliran filsafat yang lain
adalah Positivisme. Dasar-dasar filsafat ini dibangun oleh Saint Simon dan
dikembangkan oleh Auguste Comte (1798-1857). Ia menyatakan bahwa pengetahuan
manusia berkembang secara evolusi dalam tiga tahap, yaitu teologis, metafisik,
dan positif. Pengetahuan positif merupakan puncak pengetahuan manusia yang
disebutnya sebagai pengetahuan ilmiah. Sesuai dengan pandangan tersebut
kebenaran metafisik yang diperoleh dalam metafisika ditolak, karena
kebenarannya sulit dibuktikan dalam kenyataan.Auguste Comte mencoba
mengembangkan Positivisme ke dalam agama atau sebagai pengganti agama.
Hal ini terbukti dengan
didirikannya Positive Societies di berbagai tempat yang memuja
kemanusiaan sebagai ganti memuja Tuhan. Perkembangan selanjutnya dari aliran
ini melahirkan aliran yang bertumpu kepada isi dan fakta-fakta yang bersifat
materi, yang dikenal dengan Materialisme.Tokoh aliran Materialisme adalah
Feurbach (1804-1872). Ia menyatakan bahwa kepercayaan manusia kepada Allah
sebenarnya berasal dari keinginan manusia yang merasa tidak bahagia. Lalu,
manusia mencipta Wujud yang dapat dijadikan tumpuan harapan yaitu Tuhan,
sehingga Feurbach menyatakan teologi harus diganti dengan antropologi. Tokoh
lain aliran Materialisme adalah Karl Marx (1820-1883) yang menentang segala
bentuk spiritualisme. Ia bersama Friederich Engels (1820-1895) membangun
pemikiran komunisme pada tahun 1848 dengan manifesto komunisme. Karl Marx
memandang bahwa manusia itu bebas, tidak terikat dengan yang transendental.
Kehidupan manusia ditentukan oleh materi. Agama sebagai proyeksi kehendak
manusia, bukan berasal dari dunia ghaib.Periode filsafat modern di Barat
menunjukkan adanya pergeseran, segala bentuk dominasi gereja, kependetaan dan
anggapan bahwa kitab suci sebagai satu-satunya sumber pengetahuan
diporak-porandakan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa abad modern
merupakan era pembalasan terhadap zaman skolastik yang didominasi gereja. Agama
dan Filsafat Barat Kontemporer Pada awal abad XX, di Inggris dan Amerika
muncul aliran Pragmatisme yang dipelopori oleh William James (1842-1910).
Sebenarnya, Pragmatisme awalnya diperkenalkan oleh C.S. Pierce (1839-1914).
Menurutnya, kepercayaan menghasilkan kebiasaan, dan berbagai kepercayaan dapat
dibedakan dengan membandingkan kebiasaan yang dihasilkan. Oleh karena itu,
kepercayaan adalah aturan bertindak.William James berpendapat bahwa teori
adalah alat untuk memecahkan masalah dalam pengalaman hidup manusia. Karena
itu, teori dianggap benar, jika teori berfungsi bagi kehidupan manusia.
Sedangkan agama, menurutnya, mempunyai arti sebagai perasaan (feelings),
tindakan (acts) dan pengalaman individu manusia ketika mencoba memahami
hubungan dan posisinya di hadapan apa yang mereka anggap suci. Dengan demikian,
keagamaan bersifat unik dan membuat individu menyadari bahwa dunia merupakan
bagian dari sistem spiritual yang dengan sendirinya memberi nilai bagi atau
kepadanya.Agak berbeda dengan William James, tokoh Pragmatisme lainnya, John
Dewey (1859-1952) menyatakan bahwa tugas filsafat yang terpenting adalah
memberikan pengarahan pada perbuatan manusia dalam praktek hidup yang harus
berpijak pada pengalaman.
Pada saat yang
bersamaan, juga berkembang aliran Fenomenologi di Jerman yang dipelopori oleh
Edmund Husserl (1859-1938). Menurutnya, untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar ialah dengan menggunakan intuisi langsung, karena dapat dijadikan
kriteria terakhir dalam filsafat. Baginya, Fenomenologi sebenarnya merupakan
teori tentang fenomena; ia mempelajari apa yang tampak atau yang menampakkan
diri.Pada abad tersebut juga lahir aliran Eksistensialisme yang dirintis oleh
Soren Kierkegaard (1813-1855). Tokoh terpenting dalam aliran ini adalah Jean
Paul Sartre (1905-1980) yang berpandangan atheistik. Menurutnya, Tuhan tidak
ada, atau sekurang-kurangnya manusia bukan ciptaan Tuhan. Eksistensi manusia
mendahului esensinya; manusia bebas menentukan semuanya untuk dirinya dan untuk
seluruh manusia.Walaupun rasionalisme Eropa memperoleh kemenangan, ternyata
menyimpan beberapa keretakan yang pada gilirannya menimbulkan reaksi, seperti
lahirnya anti rasionalisme, humanisme, dan lain-lain. Periode kontemporer di
Barat juga ditandai dengan adanya keinginan yang demikian kuat untuk kembali
kepada ajaran agama. Filosof di Barat mulai menyadari bahwa era modern telah
melahirkan kehidupan yang kering spiritual dan tidak bermakna. KesimpulanDari
uraian terdahulu, maka dapat ditarik dua kesimpulan. Pertama, hubungan filsafat
dan agama di Barat telah terjadi sejak periode Yunani Klasik, pertengahan,
modern, dan kontemporer, meskipun harus diakui bahwa hubungan keduanya
mengalami pasang surut.Kedua, dewasa ini di Barat terdapat kecenderungan yang
demikian kuat terhadap peranan agama. Masyarakat modern yang rasionalistik,
vitalistik, dan materialistik, ternyata hampa spiritual, sehingga mulai
menengok dunia Timur yang kaya nilai-nilai spiritual
Hubungan
antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik, dan
kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis perkembangan
filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh pemikiran para
filosof yang kritis dan tajam. Para filosof sendiri kadang-kadang memberi kesan
sombong, sok tahu, meremehkan wahyu dan iman sederhana umat.
Kadang-kadang
juga terjadi bentrokan, di mana filosof menjadi korban kepicikan dan
kemunafikan orang-orang yang mengatasnamakan agama. Socrates dipaksa minum
racun atas tuduhan atheisme padahal ia justru berusaha mengantar kaum muda kota
Athena kepada penghayatan keagamaan yang lebih mendalam. Filsafat Ibn Rusyd
dianggap menyeleweng dari ajaran-ajaran Islam, ia ditangkap, diasingkan dan meninggal
dalam pembuangan. Abelard (1079-1142) yang mencoba mendamaikan iman dan
pengetahuan mengalami pelbagai penganiayaan. Thomas Aquinas (1225-1274),
filosof dan teolog terbesar Abad Pertengahan, dituduh kafir karena memakai
pendekatan Aristoteles (yang diterima para filosof Abad Pertengahan dari Ibn
Sina dan Ibn Rusyd). Giordano Bruno dibakar pada tahun 1600 di tengah kota
Roma. Sedangkan di zaman moderen tidak jarang seluruh pemikiran filsafat sejak
dari Auflklarung dikutuk sebagai anti agama dan atheis.
Pada akhir
abad ke-20, situasi mulai jauh berubah. Baik dari pihak filsafat maupun dari
pihak agama. Filsafat makin menyadari bahwa pertanyaan-pertanyaan manusia
paling dasar tentang asal-usul yang sebenarnya, tentang makna kebahagiaan,
tentang jalan kebahagiaan, tentang tanggungjawab dasar manusia, tentang makna
kehidupan, tentang apakah hidup ini berdasarkan sebuah harapan fundamental atau
sebenarnya tanpa arti paling-paling dapat dirumuskan serta dibersihkan dari
kerancuan-kerancuan, tetapi tidak dapat dijawab. Keterbukaan filsafat, termasuk
banyak filosof Marxis, terhadap agama belum pernah sebesar dewasa ini.
Sebaliknya
agama, meskipun dengan lambat, mulai memahami bahwa sekularisasi yang dirasakan
sebagai ancaman malah membuka kesempatan juga. Kalau sekularisasi berarti bahwa
apa yang duniawi dibersihkan dari segala kabut adiduniawi, jadi bahwa dunia
adalah dunia dan Allah adalah Allah, dan dua-duanya tidak tercampur, maka
sekularisasi itu sebenarnya hanya menegaskan apa yang selalu menjadi keyakinan
dasar monotheisme. Sekularisasi lantas hanya berarti bahwa agama tidak lagi
dapat mengandalkan kekuasaan duniawi dalam membawa pesannya, dan hal itu justru
membantu membersihkan agama dari kecurigaan bahwa agama sebenarnya hanyalah
suatu legitimasi bagi sekelompok orang untuk mencari kekuasaan di dunia. Agama
dibebaskan kepada hakekatnya yang rohani dan adiduniawi (agama, baru menjadi
saksi kekuasaan Allah yang adiduniawi apabila dalam mengamalkan tugasnya tidak
memakai sarana-sarana kekuasaan, paksaan dan tekanan duniawi. )
Dengan demikian, dialog antara
filsafat dan agama justru akan membawa keuntungan bagi keduabelah pihak.
2.5.
HUBUNGAN FILSAFAT DENGAN AGAMA
Hubungan
antara filsafat dan agama dalam sejarah kadang-kadang dekat dan baik, dan
kadang-kadang jauh dan buruk. Ada kalanya para agamawan merintis perkembangan
filsafat. Ada kalanya pula orang beragama merasa terancam oleh pemikiran para
filosof yang kritis dan tajam. Para filosof sendiri kadang-kadang memberi kesan
sombong, sok tahu, meremehkan wahyu dan iman sederhana umat.
Filsafat
sekurang-kurangnya dapat menyumbangkan empat pelayanan pada agama :
Pertama.
Salah satu masalah yang dihadapi oleh setiap agama wahyu adalah masalah
interpretasi. Maksudnya, teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan
dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia. Akan tetapi segenap makna
dan arti bahasa manusia tidak pernah seratus persen pasti. Itulah sebabnya kita
begitu sering mengalami apa yang disebut salah paham. Hal itu juga berlaku bagi
bahasa wahana wahyu. Hampir pada setiap kalimat ada kemungkinan salah tafsir.
Oleh karena itu para penganut agama yang sama pun sering masih cukup berbeda
dalam pahamnya tentang isi dan arti wahyu. Dengan kata lain, kita tidak pernah
seratus persen merasa pasti bahwa pengertian kita tentang maksud Allah yang
terungkap dalam teks wahyu memang tepat, memang itulah maksud Allah.
Oleh sebab
itu, setiap agama wahyu mempunyai cara untuk menangani masalah itu. Agama
Islam, misalnya, mengenai ijma' dan qias. Nah, dalam usaha manusia seperti itu,
untuk memahami wahyu Allah secara tepat, untuk mencapai kata sepakat tentang
arti salah satu bagian wahyu, filsafat dapat saja membantu. Karena jelas bahwa
jawaban atas pertanyaan itu harus diberikan dengan memakai nalar (pertanyaan
tentang arti wahyu tidak dapat dipecahkan dengan mencari jawabannya dalam wahyu
saja, karena dengan demikian pertanyaan yang sama akan muncul kembali, dan
seterusnya). Karena filsafat adalah seni pemakaian nalar secara tepat dan
bertanggungjawab, filsafat dapat membantu agama dalam memastikan arti wahyunya.
Kedua,
secara spesifik, filsafat selalu dan sudah memberikan pelayanan itu kepada ilmu
yang mencoba mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan ajaran agama yang
berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi. Maka secara tradisional-dengan sangat
tidak disenangi oleh para filosof-filsafat disebut ancilla theologiae (abdi
teologi). Teologi dengan sendirinya memerlukan paham-paham dan metode-metode
tertentu, dan paham-paham serta metode-metode itu dengan sendirinya diambil
dari filsafat. Misalnya, masalah penentuan Allah dan kebebasan manusia (masalah
kehendak bebas) hanya dapat dibahas dengan memakai cara berpikir filsafat. Hal
yang sama juga berlaku dalam masalah "theodicea", pertanyaan
tentang bagaimana Allah yang sekaligus Mahabaik dan Mahakuasa, dapat membiarkan
penderitaan dan dosa berlangsung (padahal ia tentu dapat mencegahnya). Begitu
pula Christologi (teologi kristiani tentang Yesus Kristus) mempergunakan
paham-paham filsafat Yunani dalam usahanya mempersatukan kepercayaan pada
hakekat nahi Yesus Kristus dengan kepercayaan bahwa Allah hanyalah satu.
Ketiga,
filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi masalah-masalah baru, artinya
masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan belum ada dan tidak
dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Itu terutama relevan dalam bidang
moralitas. Misalnya masalah bayi tabung atau pencangkokan ginjal. Bagaimana
orang mengambil sikap terhadap dua kemungkinan itu : Boleh atau tidak?
Bagaimana dalam hal ini ia mendasarkan diri pada agamanya, padahal dalam Kitab
Suci agamanya, dua masalah itu tak pernah dibahas? Jawabannya hanya dapat
ditemukan dengan cara menerapkan prinsip-prinsip etika yang termuat dalam
konteks lain dalam Kitab Suci pada masalah baru itu. Nah, dalam proses itu
diperlukan pertimbangan filsafat moral.
Filsafat juga
dapat membantu merumuskan pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama,
dengan mengacu pada hasil ilmu pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita,
misalnya pada ajaran evolusi atau pada feminisme.
Pelayanan
keempat yang dapat diberikan oleh filsafat kepada agama diberikan melalui
fungsi kritisnya. Salah satu tugas filsafat adalah kritik ideologi. Maksudnya
adalah sebagai berikut. Masyarakat terutama masyarakat pasca tradisional, berada
di bawah semburan segala macam pandangan, kepercayaan, agama, aliran, ideologi,
dan keyakinan. Semua pandangan itu memiliki satu kesamaan : Mereka mengatakan
kepada masyarakat bagaimana ia harus hidup, bersikap dan bertindak. Fiisafat
menganalisa claim-claim ideologi itu secara kritis, mempertanyakan dasarnya,
memperlihatkan implikasinya, membuka kedok kepentingan yang barangkali ada di
belakangnya.
Kritik
ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua arah. Pertama terhadap
pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang- an yang mau merusak
sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab. Fisafat tidak sekedar mengutuk apa
yang tidak sesuai dengan pandangan kita sendiri, melainkan mempergunakan
argumentasi rasional. Agama sebaiknya menghadapi ideologi-ideologi saingan
tidak secara dogmatis belaka, jadi hanya karena berpendapat lain, melainkan
berdasarkan argumentasi yang obyektif dan juga dapat dimengerti orang luar.
Arah kedua
menyangkut agamanya sendiri. Filsafat dapat mempertanyakan, apakah sesuatu yang
oleh penganut agama dikatakan sebagai termuat dalam wahyu Allah, memang
termasuk wahyu itu. Jadi, filsafat dapat menjadi alat untuk membebaskan ajaran
agama dari unsur-unsur ideologis yang menuntut sesuatu yang sebenarnya tidak
termuat dalam wahyu, melainkan hanya berdasarkan sebuah interpretasi subyektif.
Maka filsafat membantu pembaharuan agama. Berhadapan dengan tantangan-tantangan
zaman, agama tidak sekedar menyesuaikan dirinya, melainkan menggali jawabannya
dengan berpaling kembali kepada apa yang sebenarnya diwahyukan oleh Allah.
BAB
III
KESIMPULAN
3.1.KESIMPULAN
filsafat berkembang menjadi titik tolak pemikiran
manusia di abad pertengahan, modern dan masa berikutnya. Sedangkan Agama berkembang
melalui proses dari yang asli, yang bersifat politeis, dengan demikian filsafat dan Agama mempunyai
hubungan yang baik, Seperti yang sudah diterangkan pada makalah ini
sebelumnya bahwa filsafat berguna sebagai sumber pengetahuan, dan masyarakat juga menjadikan agama sebagai
pedoman hidup, oleh karena itu filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi
masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan
belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu. Filsafat juga dapat membantu merumuskan
pertanyaan-pertanyaan kritis yang menggugah agama.
Hubungan/fungsi antara filasat dengan agama
antara lain adalah:
o
teks wahyu yang merupakan Sabda Allah selalu dan
dengan sendirinya terumus dalam bahasa dari dunia.mengacu pada hasil ilmu
pengetahuan dan ideologi-ideologi masa kita, misalnya pada ajaran evolusi atau
pada feminisme.
o
mensistematisasikan, membetulkan dan memastikan
ajaran agama yang berdasarkan wahyu, yaitu ilmu teologi.
o
filsafat dapat membantu agama dalam menghadapi
masalah-masalah baru, artinya masalah-masalah yang pada waktu wahyu diturunkan
belum ada dan tidak dibicarakan secara langsung dalam wahyu
o
Kritik ideologi itu dibutuhkan agama dalam dua
arah. Pertama terhadap pandangan-pandangan saingan, terutama pandangan-pandang-
an yang mau merusak sikap jujur, takwa dan bertanggungjawab.
3.2.SARAN
Tidak dipungkiri bahwa filsafat dan agama sudah
berjalan dengan baik dari dahulu kala, walau di beberapa tahun silam pemikiran
agama sempat lebih menonjol dari pada filsafat karena manusia pada saat itu
sangat yakin dengan hal yang bersifat religious dan magis, tetapi manusia
seakan meninggalkan ke religiousannya karena mulai berpikir pada sebuah
pengetahuan yang pasti dan mulai mempertanyakan sebuah mitos yang berkembang
dari apa yang mereka lakukan, dan sekali lagi itu tidak berhasil dengan baik
karena manusia yang hanya berpikir dengan filsafat tanpa agama yang membuat
manusia tidak menemukan makna dalam hidupnya, oleh karena itu berpikir filsafat
dengan agama sangatlah baik karena mendapatkan ilmu pengetahuan yang positif
serta mendapatkan kekayaan spritualisme yang abadi.
DAFTAR PUSTAKA
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/14/216/filsafat-dan-agama
http://pustaka.abatasa.com/pustaka/detail/14/216/filsafat-dan-agama
Tidak ada komentar:
Posting Komentar